Jakarta,
13 Juli 2012–Setidaknya ada tiga alasan mengapa Undang-Undang Pendidikan Tinggi
disahkan pada bulan juli 2012. Pertama dikarenakan pada bulan Juli merupakan masa
persiapan menyambut tahun akademik 2012/2013, sehingga Undang Undang Pendidikan
Tinggi tersebut dapat langsung di implementasikan. Kedua terkait dengan
persiapan pembuatan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2013, maka perencanaan
pengimplementasian Undang Undang Pendidikan Tinggi yang sejatinya tentu
membutuhkan anggaran tersendiri akan tersinkronisasi dengan anggaran yang akan
dipersiapkan pemerintah di tahun 2013.
Terakhir mengenai selesainya masa tujuh
perguruan tinggi BHMN, dengan adanya Undang-undang Pendidikan Tinggi ini,
tentunya ke-tujuh BHMN tersebut akan dapat menyesuaikan dengan peraturan yang
ada di Undang-Undang Pendidikan tinggi.
“
Jadi pengesahan Undang-Undang Pendidikan Tinggi pada bulan ini sudah tepat dari
sisi tahun akademik, sisi tahun anggaran dan tentunya dari sisi perguruan
tinggi BHMN yang akan selesai pada tahun ini “ ujar Menteri Nuh pada acara temu
wartawan, sore ini (13/7) di Kemdikbud.
Tidak
ingin Undang-Undang ini bernasib sama dengan Undang_undang Badan Hukum
Pendidikan yang telah digugurkan oleh Makamah konsitusi (MK), pemerintah
memperhatikan betul masukan yang diberikan oleh MK pada saat itu. Isu mengenai
keseragaman, liberalisasi hingga komersialisasi tidak luput menjadi titik
perhatian ketika menyusun undang-undang pendidikan tinggi ini, “ Jelasnya tidak
ada penyeragaman pada pengelolaan perguruan tinggi, setiap perguruan tinggi
dapat memilih otonomi sumber dayanya, bisa dalam bentuk satuan kerja di bawah
Kemdikbud seperti Direktorat jenderal, Badan Layanan Umum (BLU) atau dalam
bentuk Perguruan tinggi Berbadan Hukum “ Sambung Menteri Nuh.
Sedangkan
mengenai isu liberalisme dan komersialisme, Menteri Nuh menjelaskan bahwa pesan
MK pada poin tersebut merupakan dasar alasan mengapa otonomi perguruan tinggi
tidak dilepas sepenuhnya “ MK berpesan agar pemerintah pusat dan daerah tetap
harus bertanggung jawab terhadap pendananaan, oleh karena itu otonomi perguruan
tinggi tidak kita lepas sepenuhnya tetapi tetap dengan prinsip nirlaba, hal ini
dimaksudkan agar perguruan tinggi tidak terjebak pada komersialisasi “ ucapnya
sembari menambahkan perguruan tinggi harus tetap memegang teguh prinsip
akuntabilitas, transparan, efesiensi dan efektifitas.
Menteri
Nuh melihat bahwa Undang-undang Pendidikan tinggi ini memiliki afirmasi
terhadap gambaran pendidikan tinggi di Indonesia. Saat ini Angka Partisipasi
Kasar Pendidikan Tinggi di Indonesia baru mencapai 26 % di tahun 2011, hal ini
menandakan bahwa ada 74 % sisinya dari lulusan SMA/SMK dan MA yang tidak dapat
mengakses pendidikan tinggi. Salah satu alasannya adalah permasalahan ekonomi,
dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini, jawaban tantangan ekonomi
tersebut telah dipersiapkan “secara eksplisit ada afirmatif agar
perguruan tinggi negeri menyediakan bangku sebanyak 20 persen untuk
anak-anak kita yang memiliki keterbatasan ekonomi. Selain itu kita pun akan
mendirikan perguruan tinggi negeri paling tidak di setiap provinsi, baik dalam
bentuk universitas, institut, atau dalam bentuk yang lain. Kita
juga akan mendirikan akademik komunitas di kabupaten atau kota terutama di daerah
perbatasan. Dengan upaya tersebut diharapkan lulusan SMA/SMK dan MA, bisa
berbondong-bondang masuk ke komunitas akademik itu, seingga angkatan kerja kita
juga meningkat” papar Menteri Nuh.
Mengenai
isu perguruan tinggi asing yang disinggung dalam Undang-Undang Peguruan Tinggi
ini, Menteri Nuh menjelaskan bahwa sikap pemerintah tidak sepenuhnya membuka
atau menutup masuknya perguruan tinggi asing di Indonesia “ tetapi kita
memiliki penseleksian yang khusus dan amat ketat” ujarnya. Lebih lanjut Menteri
Nuh menjelaskan bahwa setiap perguruan tinggi asing yang akan masuk ke
Indonesia haruslah terakreditasi dengan baik di negaranya kemudian harus
melakukan pola kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia, “ jadi tidak
dengan serta merta diberi keleluasaan berdiri dimana saja, ada persyaratan
dimana mereka bisa berdiri dan program studi apa saja yang perlu mereka
tawarkan, hal ini untuk menjaga agar perguruan tinggi kita tidak terancam
keberadaanya”. Jelas Nuh.
Menteri
Nuh merencanakan akan terus mensosialisasikan produk undang-undang ini kepada
masyarakat luas dan para pemangku kepentingan, tujuannya adalah untuk
memberikan pemahaman dan pengertian yang baik mengenai latar belakang dan
tujuan dari Undang-Undang tersebut. Apabila ada unsur masyarakat yang ingin
melakukan judicial review, Menteri Nuh tetap mempersilahkan karena
dirinya memahami bahwa ini adalah sebuah dinamika “ Kalau ada yang mau
men-judicial review, silahkan. Kami akan sosialisasi agar masyarakat dan
pemangku kepentingan paham betul tentang konten dari undang –undang ini, tetapi
harus diperhatikan betul apakah ada pasal atau yg bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Bila tidak, saya mohon tidak usah masuk Judicial Riview.”
Jelas Menteri Nuh.
Adapun uu tentang perguruan
tinggi yang di syahkan adalah sebagai berikut:
UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, halaman 49-50 – Paragraf 2.
Jenjang Jabatan Akademik, Pasal 72 :
- Ayat (1) Jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
- Ayat (3) Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik profesor.
- Ayat (4) Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatan akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.
- Ayat (5) Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.
- Ayat (6) Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Dari lima ayat dalam Pasal 72 yang berkaitan dengan Profesor atau Guru Besar
tersebut, terdapat ketentuan yang berbeda sama sekali dengan yang sudah ada
selama ini, yaitu yang berkaitan dengan usia pensiun Guru Besar. Jika ketentuan
yang ada sebelumnya adalah “usia pensiun Guru Besar adalah 65 tahun dan dapat
diperpanjang menjadi 70 tahun.” Pada kenyataannya, perpanjangan usia pensiun
Guru Besar menjadi 70 tahun tersebut sulit untuk dilakukan mengingat
persyaratan yang harus dipenuhi sangat sulit.
Dengan ketentuan baru pada pasal 72 ayat 4 dinyatakan bahwa “Batas usia
pensiun Dosen yang menduduki jabatan akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh
puluh) tahun.” Hal ini berarti otomatis bagi dosen yang sudah menduduki
fungsional Guru Besar baru akan pensiun pada usia 70 tahun dan tidak perlu
melakukan perpanjangan ketika memasuki umur 65 tahun.
Lebih lanjut, dalam pasal 72 ayat 4 juga dinyatakan, bagi dosen yang telah
menduduki fungsional Guru Besar, bahwa “Pemerintah memberikan tunjangan profesi
serta tunjangan kehormatan.” Hal ini berarti otomatis bagi dosen yang sudah
menduduki fungsional Guru Besar dijamin akan mendapatkan tunjangan profesi dan
tunjangan kehormatan sampai dengan usia pensiun 70 tahun.
0 comments :
Posting Komentar